Sudihati adalah nama sebuah komunitas Muslim yang berada di Kintamani Kabupaten Bangli Bali yang juga menjadi nama sebuah yayasan satu satunya di tempat itu. Di Bangli memang nyaris tidak ada Kampung Islam yang tergolong dalam terminologi kuno, kecuali hanya bekasnya saja seperti terlacak dari pura langgar, namun demikian di wilayah Bangli terdapat Komunitas Muslim yang keberadaannya telah terbilang lama adanya, bahkan kehadirannya sudah ada sejak era Kolonial Belanda, Kampung itu sekarang bernama Dusun Sudihati.Dusun Sudihati dulunya bernama Kampung Islam, tetapi akhirnya di ubah menjadi Sudihati karena mengikuti peraturan dari pemerintah daerah, Kampung ini sudah Menjadi Dusun Definitif. dan telah memiliki hak pilih tetap sejak 1985, bahkan kalau ada pemilihan Kepala Desa warga Sudihati juga berhak untuk mencalonkan warganya, penghuni Dusun Sudihati semuanya Muslim.
Secara Cultural Komunitas Sudihati menganut faham Nahdliyin bertipe Madura,Bagaimanakah Sejarah Dusun Sudihati ? Kampung itu dimulai tahun 1935, oleh empat pasang suami-istri: bapak Diye, bapak Tumah, bapak Saefudin, dan bapak Abdul Kadir. Mereka dari Madura untuk berjualan sate, kecuali Kadir asal Surabaya sebagai penjual Bandeng. Setahun berikutnya datang, Abdul Kamrah, asli Lombok pegawai kehutanan. “Dengan modal papan pemberian pak Abdul Kamrah mereka lantas membuat musholla, tepat di lokasi masjid saat ini”. Keempat KK inilah yang akhirnya beranak pinak di sudut Kintamani.
Pada tahun 1970 an datang umat Islam lain ikut meramaikan lokasi ini.
Musholla yang dibangun tahun 1936 dikembangkan menjadi masjid (jami’). Semula masjid tidak memiliki nama, tetapi di tahun 1970 atas kesepakatan bersama diberi nama Masjid Al Muhajirin, sekaligus dibentuk pengurus dengan Ketua: H. Husain, Sekretaris: Kasim (mantan camat), bendahara: putranya Abdul Kadir, Agus Iskandar. Di tahun 1980 masjid dipugar dan dilengkapi alat pengeras suara atas bantuan dari Jakarta (Ibu Tien Soeharto) sebesar 250 Ribu.
Tanah masjid dan sekitarnya semula hanya sewa. “Tetapi, akhirnya diberikan kepada seorang veteran etnis Madura, Saefudin oleh Wayan Jingge (seorang Hindu), sebagai tanda penghargaan bahwa Syaefuddin telah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Tanah ini diberikan untuk tempat ibadah dan kuburan” Memang, tanah hibah yang kala itu dilegalisir camat Made Ringin tidak luas, tetapi statusnya sudah kuat sebagai tanah wakaf. Adapun tanah pemukiman sekitar masjid yang ditempati umat Islam sampai kini masih merupakan tanah desa/adat. Umat Islam punya hak pakai/sewa dengan membayar pajak (sewa) setiap tahunnya.
Semula pembayaran sewa berupa beras dan janur kelapa. Tetapi melalui kesepakatan, akhirnya diganti uang secara tahunan (bukan perbulan) sehingga lebih tepat disebut uang pajak dibanding sewa. “Pertahun per KK dikenakan 50 ribu, yang diberikan ke kas adat. Uang itu dapat dikatakan sekedar simbolitas, sebagai silaturrahmi terhadap adat mereka, sebab umat Islam tidak ikut ke Pura.
Perlu diketahui bahwa di Bali tanah ada tiga penggunaan: parahyangan, pawongan, pelemahan. Umat Islam hanya terkait palemahan, sehingga untuk pawongan (yang intern Hindu) umat Islam cukup mengganti dengan pajak (sewa) tadi. Sebetulnya yang dikenakan kepada komunitas Islam namanya janur busung, janur sama beras 5 kg pertahun. “Tetapi agar tidak repot akhirnya diuangkan. Pertama kali 6 ribu rupiah, lalu naik lama-lama menjadi 20 ribu, dan baru dua tahun menjadi 50 ribu rupiah. Penilaian kenaikan dilakukan oleh adat.
Hubungan umat Islam – umat Hindu relatif berjalan baik. Kalau ada pembangunan pura desa, warga kampung Islam sebenarnya tidak pernah dimintai iuran. Namun, mereka biasanya partisipasi dengan sumbangan sukarela kepada panitia. Jika kepala dusun Islam punya hajat, senantiasa mengundang tokoh-tokoh Hindu, demikian pula sebaliknya. Orang Hindu yang mengundang kalangan Islam biasanya membawa tukang masak dari kalangan Islam agar tidak menimbulkan keraguan. Selain itu, kalau ada upacara adat (seperti upacara pertama kematian) ada perwakilan yang datang. “Yang penting orang desa tahu, ada warga kampung Muslim datang. Begitu pula sebaliknya. Bahkan pecalang pun ikut terlibat bila ada acara, seperti hari raya”. Semua generasi anak-anak Sudihati juga bisa berbahasa bali, realisasi dari identitas kebalian mereka. Dengan komunikasi seperti itulah, maka dalam konteks kerukunan antar umat, Sudihati menjadi percontohan di Bangli.
Loyalitas umat Islam pada Kintamani sangat besar, di tahun 1981 kampung Sudihati membela warga Hindu Kintamani ketika berselisih dengan warga Hindu dari Batur Selatan. “Terjadi pada saat hari raya nyepi. Perselisihan akibat pelemparan ketika mengusung ogoh-ogoh. Massa dari Batur Selatan keluar mengancam Kintamani. Saat itu malam hari. Kaum tua Hindu Kintamani musyawarah, dan meminta bantuan dari kampung Islam Sudihati yang kebanyakan etnis Madura.
Solidaritas kintamani itulah yang menjadi factor lain dimana umat Hindu bersikap baik terhadap umat Islam. Bahkan setelah peristiwa itu hal-hal terkait administrasi pertanahan misalnya, segera diselesaikan, mungkin sebagai wujud penghargaan terhadap loyalitas kampung Muslim sebagai warga Kintamani. Makam muslim juga ditata, bahkan dewasa ini sudah ada pagar, ada pintu masuk alias gapura. “Makam kita nomer satu alias paling bagus. Bangli saja kalah sama makam kita”, kata H. Sulkan bangga ( Mantan Kepala Dusun Sudihati ).
Problem kecil tentu saja ada dalam konteks hubungan antar umat beragama. “Sebelum tahun 1980an misalnya, soal bedug di masjid. Saya sampai dipanggil sama kepala desa karena dianggap menyamai kulkul. Kami memberikan sosialisasi, pengertian, dan akhirnya dibolehkan. Setelah bom Bali pun di Kintamani tidak ada problema berarti. Hanya intel saja yang kadang-kadang datang, bahkan sampai di tahun-tahun sekarang. Kalau ada masalah (teroris) di Jawa misalkan, Intel dan dari Polda biasanya datang menanyakan mungkin ada orang yang dua hari terakhir datang atau pindah. “Memang, (tempat ibadah) kita sempat terusik 10 tahun lau (menyusul peristiwa bom Bali) yakni ada pelemparan baru. Hal ini kita bawa sampai ke level kabupaten. Dari Trantip, Dandim, Kapolres, Pemda kabupaten, kala itu dikumpulkan, maunya di masjid tetapi saya tidak boleh karena lebih enak di kecamatan. Setelah dimusyawarahkan bersama, sampai kini tidak ada problem lagi.
Ada juga peristiwa lain, di dusun tidak jauh dari Sudihati. Pernah seorang pendatang muslim kencing berdiri, tidak tahu bahwa itu di tempat sangga. Orang itu dihajar massa bahkan hampir dibakar. “Saya membesarkan keberanian, datang ke pak Kades, komunikasi dalam konteks hukum karena si tersangka sudah satu dua hari tidak diberi makan. Akhirnya, lelaki yang sudah babak belur itu dibebaskan. Semua problema umat Islam yang datang ke sini tetap kita bantu, kecuali kalau masalah judi, saya tidak mau”. Agar umat Islam yang datang ke Kintamani tidak mengalami problema cultural, mereka disarankan tergabung dalam Perkumpulan Suka Duka Sudihati, termasuk ikut pengajian. Memang perkumpulan itu ada iurannya, namun dari sisi jumlah (lima puluh ribu perbulan) tidak seberapa dibanding manfaatnya, terutama untuk mengatasi bila ada problema, seperti kasus kematian, problem penguburan, masalah ketidakpahaman adat, yang semuanya menjadi problematic ketika berhubungan dengan adat lokal.
Pada tahun 1970 an datang umat Islam lain ikut meramaikan lokasi ini.
Musholla yang dibangun tahun 1936 dikembangkan menjadi masjid (jami’). Semula masjid tidak memiliki nama, tetapi di tahun 1970 atas kesepakatan bersama diberi nama Masjid Al Muhajirin, sekaligus dibentuk pengurus dengan Ketua: H. Husain, Sekretaris: Kasim (mantan camat), bendahara: putranya Abdul Kadir, Agus Iskandar. Di tahun 1980 masjid dipugar dan dilengkapi alat pengeras suara atas bantuan dari Jakarta (Ibu Tien Soeharto) sebesar 250 Ribu.
Tanah masjid dan sekitarnya semula hanya sewa. “Tetapi, akhirnya diberikan kepada seorang veteran etnis Madura, Saefudin oleh Wayan Jingge (seorang Hindu), sebagai tanda penghargaan bahwa Syaefuddin telah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Tanah ini diberikan untuk tempat ibadah dan kuburan” Memang, tanah hibah yang kala itu dilegalisir camat Made Ringin tidak luas, tetapi statusnya sudah kuat sebagai tanah wakaf. Adapun tanah pemukiman sekitar masjid yang ditempati umat Islam sampai kini masih merupakan tanah desa/adat. Umat Islam punya hak pakai/sewa dengan membayar pajak (sewa) setiap tahunnya.
Semula pembayaran sewa berupa beras dan janur kelapa. Tetapi melalui kesepakatan, akhirnya diganti uang secara tahunan (bukan perbulan) sehingga lebih tepat disebut uang pajak dibanding sewa. “Pertahun per KK dikenakan 50 ribu, yang diberikan ke kas adat. Uang itu dapat dikatakan sekedar simbolitas, sebagai silaturrahmi terhadap adat mereka, sebab umat Islam tidak ikut ke Pura.
Perlu diketahui bahwa di Bali tanah ada tiga penggunaan: parahyangan, pawongan, pelemahan. Umat Islam hanya terkait palemahan, sehingga untuk pawongan (yang intern Hindu) umat Islam cukup mengganti dengan pajak (sewa) tadi. Sebetulnya yang dikenakan kepada komunitas Islam namanya janur busung, janur sama beras 5 kg pertahun. “Tetapi agar tidak repot akhirnya diuangkan. Pertama kali 6 ribu rupiah, lalu naik lama-lama menjadi 20 ribu, dan baru dua tahun menjadi 50 ribu rupiah. Penilaian kenaikan dilakukan oleh adat.
Hubungan umat Islam – umat Hindu relatif berjalan baik. Kalau ada pembangunan pura desa, warga kampung Islam sebenarnya tidak pernah dimintai iuran. Namun, mereka biasanya partisipasi dengan sumbangan sukarela kepada panitia. Jika kepala dusun Islam punya hajat, senantiasa mengundang tokoh-tokoh Hindu, demikian pula sebaliknya. Orang Hindu yang mengundang kalangan Islam biasanya membawa tukang masak dari kalangan Islam agar tidak menimbulkan keraguan. Selain itu, kalau ada upacara adat (seperti upacara pertama kematian) ada perwakilan yang datang. “Yang penting orang desa tahu, ada warga kampung Muslim datang. Begitu pula sebaliknya. Bahkan pecalang pun ikut terlibat bila ada acara, seperti hari raya”. Semua generasi anak-anak Sudihati juga bisa berbahasa bali, realisasi dari identitas kebalian mereka. Dengan komunikasi seperti itulah, maka dalam konteks kerukunan antar umat, Sudihati menjadi percontohan di Bangli.
Loyalitas umat Islam pada Kintamani sangat besar, di tahun 1981 kampung Sudihati membela warga Hindu Kintamani ketika berselisih dengan warga Hindu dari Batur Selatan. “Terjadi pada saat hari raya nyepi. Perselisihan akibat pelemparan ketika mengusung ogoh-ogoh. Massa dari Batur Selatan keluar mengancam Kintamani. Saat itu malam hari. Kaum tua Hindu Kintamani musyawarah, dan meminta bantuan dari kampung Islam Sudihati yang kebanyakan etnis Madura.
Solidaritas kintamani itulah yang menjadi factor lain dimana umat Hindu bersikap baik terhadap umat Islam. Bahkan setelah peristiwa itu hal-hal terkait administrasi pertanahan misalnya, segera diselesaikan, mungkin sebagai wujud penghargaan terhadap loyalitas kampung Muslim sebagai warga Kintamani. Makam muslim juga ditata, bahkan dewasa ini sudah ada pagar, ada pintu masuk alias gapura. “Makam kita nomer satu alias paling bagus. Bangli saja kalah sama makam kita”, kata H. Sulkan bangga ( Mantan Kepala Dusun Sudihati ).
Problem kecil tentu saja ada dalam konteks hubungan antar umat beragama. “Sebelum tahun 1980an misalnya, soal bedug di masjid. Saya sampai dipanggil sama kepala desa karena dianggap menyamai kulkul. Kami memberikan sosialisasi, pengertian, dan akhirnya dibolehkan. Setelah bom Bali pun di Kintamani tidak ada problema berarti. Hanya intel saja yang kadang-kadang datang, bahkan sampai di tahun-tahun sekarang. Kalau ada masalah (teroris) di Jawa misalkan, Intel dan dari Polda biasanya datang menanyakan mungkin ada orang yang dua hari terakhir datang atau pindah. “Memang, (tempat ibadah) kita sempat terusik 10 tahun lau (menyusul peristiwa bom Bali) yakni ada pelemparan baru. Hal ini kita bawa sampai ke level kabupaten. Dari Trantip, Dandim, Kapolres, Pemda kabupaten, kala itu dikumpulkan, maunya di masjid tetapi saya tidak boleh karena lebih enak di kecamatan. Setelah dimusyawarahkan bersama, sampai kini tidak ada problem lagi.
Ada juga peristiwa lain, di dusun tidak jauh dari Sudihati. Pernah seorang pendatang muslim kencing berdiri, tidak tahu bahwa itu di tempat sangga. Orang itu dihajar massa bahkan hampir dibakar. “Saya membesarkan keberanian, datang ke pak Kades, komunikasi dalam konteks hukum karena si tersangka sudah satu dua hari tidak diberi makan. Akhirnya, lelaki yang sudah babak belur itu dibebaskan. Semua problema umat Islam yang datang ke sini tetap kita bantu, kecuali kalau masalah judi, saya tidak mau”. Agar umat Islam yang datang ke Kintamani tidak mengalami problema cultural, mereka disarankan tergabung dalam Perkumpulan Suka Duka Sudihati, termasuk ikut pengajian. Memang perkumpulan itu ada iurannya, namun dari sisi jumlah (lima puluh ribu perbulan) tidak seberapa dibanding manfaatnya, terutama untuk mengatasi bila ada problema, seperti kasus kematian, problem penguburan, masalah ketidakpahaman adat, yang semuanya menjadi problematic ketika berhubungan dengan adat lokal.
` Di Kintamani sebenarya terdapat komunitas muslim lain selain Sudihati. Tetapi lokasinya agak terpencil dan jumlah penduduknya tidak banyak, yaitu di wilayah Kutuh. Mereka adalah kaum muallaf yang diislamkan oleh yayasan Sudihati di tahun 1982. Asal usul mereka sebenarnya dari Karangasem, datang ke Kutuh mengungsi dari letusan gunung Agung tahun 1963. Mereka asalnya muslim, semula hanya 2 KK. Ketika suaminya meninggal si wanita kawin lagi dengan orang Hindu dan beranak pinak. Di tahun 1982, ada seorang Hindu –belakangan berganti nama Ihsan– sakit-sakitan. Dia bermimpi yang intinya menjelaskan bahwa dahulu keluarganya adalah Islam. Orang inilah yang akhirnya menyatakan diri menjadi Islam, dan lantas diikuti anggota keluarga lainnya, sekitar 27 jiwa atau 7 KK. “Ada yang namanya pak Darma, Pak Suta. Saya suruh ganti namanya menjadi Ihsan. Dialah yang disunat di tahun 1981 ketika berusia 17 tahun, dan sekarang menjadi menantu warga Kintamani. Komunitas ini lantas dibina ustadz Miyadi asal Karangasem yang memang ditugaskan Habib Adnan (MUI). “Masyarakat Kutuh secara ekonomi kurang. Kalau masjid Al Muhajirin ada kelebihan, fitrah-fitrah kita kirimkan. Lokasi mereka di atas gunung.
Memang, Kintamani sungguh elok menawan hati. ***
0 komentar:
Posting Komentar